Tokoh.co.id – Fenomena angin tornado yang mengejutkan terjadi pada Rabu (21/2/2024) sore di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, dan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, berupa tornado Sumedang Rancaekek. Bencana ini menyebabkan kerusakan signifikan pada infrastruktur dan luka pada puluhan warga. BPBD Jabar mencatat beberapa bangunan penting seperti bangunan PT Kwalram, Kawasan Industri Dwipapuri, Borma Rancaekek, Asrama Brimom Polda Jabar dan minimarket di kecamatan Jatinagor mengalami kerusakan. Peneliti BRIN, Erma Yulihastin, mengklarifikasi bahwa kejadian tersebut merupakan tornado, bukan angin puting beliung seperti dugaan awal. BMKG Bandung membedah fenomena ini, menyoroti perbedaan antara kedua fenomena ini yang lebih umum terjadi di Indonesia.
Potensi Angin Puting Beliung dan Angin Tornado di Indonesia
Indonesia, sebagai negara tropis, memiliki potensi yang signifikan untuk berbagai fenomena cuaca ekstrem, termasuk angin puting beliung dan, meskipun jarang, dalam skala besar dapat dikategorikan sebagai angin tornado. Kejadian ini, walaupun memiliki karakteristik yang berbeda, sama-sama dipicu oleh kondisi atmosfer yang dinamis dan kompleks yang sering terjadi di wilayah Indonesia.
Angin Puting Beliung
Angin puting beliung sering terjadi di Indonesia, terutama selama musim pancaroba, yaitu transisi antara musim kemarau ke musim hujan dan sebaliknya. Kejadian ini biasanya berlangsung singkat, dengan durasi beberapa menit hingga satu jam, namun dapat menimbulkan kerusakan signifikan pada struktur bangunan, pepohonan, dan infrastruktur lainnya. Angin puting beliung terbentuk dari awan cumulonimbus yang mengalami pertumbuhan vertikal cepat, dipicu oleh pemanasan permukaan bumi yang intensif dan kondisi atmosfer yang labil. Faktor lain yang berkontribusi termasuk adanya perbedaan tekanan udara yang signifikan dan kelembapan tinggi di atmosfer.
Angin Tornado
Sementara itu, kejadian ini di Indonesia sangat jarang terjadi dibandingkan dengan angin puting beliung. Fenomena ini memiliki skala yang lebih besar dan energi yang lebih intensif, biasanya terbentuk dalam kondisi atmosfer yang sangat tidak stabil. Fenomena ini dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun, tetapi lebih mungkin terbentuk di daerah yang mengalami pertemuan antara massa udara panas dan dingin, kondisi yang kurang sering terjadi di Indonesia.
Faktor yang membuat fenomena ini jarang terjadi di Indonesia antara lain karena wilayah Indonesia terletak di dekat garis khatulistiwa, dimana perbedaan suhu antara massa udara tidak sebesar di daerah subtropis atau temperate. Kondisi ini mengurangi potensi pembentukan pusaran angin besar dengan tikat energi masif yang membutuhkan pertemuan antara massa udara dingin dan panas dengan kontras yang tinggi. Selain itu, topografi Indonesia yang didominasi oleh perbukitan dan pegunungan juga mempengaruhi dinamika atmosfer lokal yang kurang mendukung pembentukan tornado.
Meskipun begitu, Indonesia masih memiliki potensi untuk mengalami fenomena ini, meskipun dengan frekuensi yang sangat rendah. Perubahan iklim global dan pemanasan global dapat mempengaruhi pola cuaca ekstrem, termasuk potensi peningkatan frekuensi dan intensitas kedua fenomena di Indonesia.
Peningkatan pemahaman terhadap fenomena ini dan peningkatan kapasitas deteksi dini serta sistem peringatan dini menjadi kunci dalam mitigasi risiko dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kedua fenomena ini di Indonesia. Kerjasama antara pemerintah, komunitas ilmiah, dan masyarakat luas sangat diperlukan dalam mempersiapkan dan merespons potensi bencana yang diakibatkan oleh fenomena cuaca ekstrem tersebut.
Strategi Mitigasi dan Kesiapsiagaan Menghadapi Fenomena Alam Ekstrem
Indonesia, sebagai negara yang terletak di “Cincin Api” Pasifik, sering mengalami berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan erupsi gunung berapi. Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah signifikan untuk memperkuat mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Sebuah inisiatif penting adalah pengembangan Strategi Nasional Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (DRFI) yang bertujuan untuk mencari solusi keuangan dan inovasi bagi pembiayaan alternatif dalam menghadapi bencana. Strategi ini dirancang untuk melengkapi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), mengurangi risiko terhadap anggaran yang dialokasikan untuk sektor prioritas seperti pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, pada tahun 2018, Indonesia menjadi tuan rumah dialog internasional tentang risiko keuangan bencana, yang menyoroti komitmen negara dalam menghadapi risiko bencana. Bank Dunia, dengan dukungan dari Swiss State Secretariat for Economic Affairs (SECO), telah memberikan dukungan keuangan senilai US$500 juta untuk memperkuat respons keuangan Indonesia terhadap bencana alam. Dana ini mendukung pembentukan Pooling Fund untuk Bencana, yang berfungsi sebagai mekanisme pusat dalam memastikan aliran dana bencana yang efektif dan transparan. Pooling Fund ini diharapkan dapat memanfaatkan asuransi dan pasar modal untuk meningkatkan kemampuan keuangannya, sehingga mempercepat penyaluran bantuan sosial bagi korban bencana alam dan meningkatkan perencanaan kesiapsiagaan bencana.
Langkah-langkah tersebut menunjukkan usaha pemerintah dalam menanggulangi dan mencegah kerusakan akibat fenomena bencana alam, memastikan bahwa negara dan masyarakatnya lebih siap menghadapi risiko bencana di masa depan.