Tokoh.co.id – Saat berbincang dengan Andi Arwis Yunus, kita seperti diajak menyelami dunia ide yang tak pernah kering. Setiap percakapan dengannya selalu menghadirkan gagasan-gagasan segar yang meluncur tanpa henti. Perwira yang bekerja di Kantor Syahbandar Bungku ini memiliki aura yang santai dan tanpa beban.
Namun, di balik penampilannya yang selalu rapi dengan kacamata gelap, tersimpan kisah penuh pengalaman sebagai abdi negara. Sama halnya dengan secangkir kopi hitam yang terlihat pahit, tetapi mengandung kehangatan manis yang menyegarkan, begitulah hidup yang ia jalani dengan penuh ketenangan dan refleksi.
“Bukankah dibalik hitamnya kopi pahit tersimpan rasa manis yang menyegarkan? ungkapnya menerawang jauh.
Erwin yang sedang menyelesaikan studi magister (S-2) di bidang Ekonomi dan Managemen ini diilhami oleh pepatah ini. ” Tidak ada manis tanpa pahit. Tidak ada kemenangan tanpa cedera”
Sore itu suasana di bilangan Pelabuhan Bungku, Morowali cukup bersahabat. Langit tampak cerah. Lalu lintas di jalanan tampak lengang. Seperti hari-hari sebelumnya, arus lalu lintas di kota Morowali selalu lancar. Berbeda dengan kota kota besar lainnya di mana kepadatan lalu lintas menjadi problem.
Di salah satu pojok Kantin Kita di bagian barat dari pelabuhan, terjadi pertemuan tanpa direncanakan terlebih dahulu dengan Andi Arwis Yunus. Seperti biasanya, pembicaraan awalnya tanpa tema. Namun di salah satu sesi terdapat gerakan tubuh dari pria asal Bugis Bone ini seperti mengisyaratkan sesuatu. Ia menarik napas dalam-dalam seraya menghembuskannya dengan berat seperti sedang memikirkan sesuatu.
Sebagai jurnalis, yang sarat pengalaman insting saya mulai tergoda untuk mengorek lebih dalam dan mencari tahu apa gerangan yang terjadi. Rasa ingin tahu terkait gerakan tubuh yang tidak biasa itu. Dalam buku Etika Jurnalistik karangan Efendi Junadi, dijelaskan bahwa bila nara sumber yang sedang diwawancarai menengok jam tangan,
itu mengisyaratkan bahwa dia (nara sumber) sudah bosan.
Menganalisa gerakkan tubuh puang Erwin, saya menduga ada sesuatu yang tersimpan di antara tarikan napas dan tatapan yang menerawang itu. Benar saja. Sebelum saya menanyakan apa yang terjadi, puang Erwin langsung menyela.
Dalam melayani publik sebagai abdi negara, konsekuensinya besar sekali. Bila melayani dengan baik dan memuaskan belum tentu dipuja. Namun bila melayani asal -asal dan tidak memuaskan masyarakat dihujat itu sudah pasti. Karena itu cara terbaiknya, melayani dengan hati dan penuh kesabaran. “Itu saja rumusnya. Bersabar dan melayani dengan hati,” ucapnya.
Andi Arwis melanjutkan, bekerja di kantor Syahbandar setiap saat tugas kita melayani mitra dan agen kapal termasuk pengguna jasa kelautan.
Tugas ini lanjutnya harus maksimal. Ia beralasan, acapkali agen atau mitra membutuhkan pengesahan dokumen pelayaran di waktu dini hari. “Kapal kalau mau berangkat kan membutuhkan apa yang disebut Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Bila berangkat tengah malam ya harus kita standby dan siap melayani,” kata dia.
Menurutnya sebagai abdi negara sekaligus abdi masyarakat, pihak Syahbandar Bungku Morowali membuka pelayanan selama 1 x 24 Jam. Dengan skema piket atau jaga malam yang dipimpin seorang perwira. Jam piket dibuka selama 1x 24 jam. Tujuannya mempermudah pelayanan bagi pengguna jasa.
“Bayangkan bila kapal mau berangkat jam 12.00 malam sementara petugas tidak ada. Siapa yang mau terbitkan SPB,” tandanya.
“Tapi kadang ada pengguna jasa yang menelpon abis jam salat subuh. Minta dibantu. Sebagai manusia tentu saja kita ya marah. Tapi karena kita sadar sebagai pekayan masyarakat mau tidak mau sula tidak suka harus dilayani,” pungkasnya seraya menyerulut kopinya.
Di ujung fatamorgana langit tampak muram. Hanya senja yang berusaha mengibaskan sisa cahayanya sebelum dijemput sang malam.
Orangtua jaman dahulu menasihatkan kalau masih ada gunung dan hutan yang rimbun. Tidak perlu takut kehabisan kayu bakar. Sampai di sini Erwin menyudahi gundah gulana dengan perasaan mengharu biru. Rupanya kalimat ini benar-benar menginspirasi dirinya dalam hal melayani tanpa pamrih.
Oleh Yosef Naiobe