Tokoh.co.id – Tan Malaka, lahir sebagai Ibrahim Datuk Tan Malaka, merupakan sosok yang penting dalam sejarah Indonesia. Dikenal sebagai guru, Marxis, filsuf, pendiri Persatuan Perjuangan dan Partai Murba, pejuang kemerdekaan, mata-mata, dan pahlawan nasional, perjalanan hidupnya menyimpan banyak cerita inspiratif. Lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Limapuluh Koto, Sumatera Barat, Ia tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Peranannya dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pemikirannya yang radikal membuatnya menjadi figur yang unik dan terkadang kontroversial dalam sejarah. Kisah hidupnya mengungkapkan perjuangan, idealisme, dan kontribusi nyata bagi bangsa Indonesia.
Sekilas Tentang Tan Malaka
Tan Malaka adalah tokoh yang multifaset. Selain dikenal sebagai guru, ia adalah Marxis, filsuf, dan pendiri dari berbagai organisasi politik. Sepanjang hidupnya, ia dikenal karena komitmennya terhadap ideologi Marxis dan perjuangan kelas pekerja. Kepemimpinannya dalam Partai Murba pada tahun 1948 mencerminkan pandangan politiknya yang tegas. Dalam konteks internasional, dirinya diakui sebagai pemikir progresif yang berani mengkritik kapitalisme dan menekankan pentingnya perjuangan kelas untuk mencapai keadilan sosial.
Inspirasinya berasal dari karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Pendekatannya yang unik dalam politik dan pemikiran sosial membuatnya berbeda dari pemimpin lain pada masanya. Meski pandangan radikal dan sosialisnya sering bertentangan dengan ideologi dominan, namun ia tetap setia pada prinsipnya. Komitmen inilah yang mengantarkannya menjadi tokoh sentral dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, serta membentuk konsep negara Indonesia yang modern.
Sayangnya, ide-idenya sering kali dimarginalkan karena sifat radikalnya dan iklim politik saat itu. Namun, pengaruhnya dalam pemikiran politik Indonesia tetap signifikan dan penting untuk dipahami sebagai bagian dari perspektif yang beragam dalam sejarah Indonesia.
Kehidupan Awal dan Keluarga Tan Malaka
Tan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Limapuluh Koto, Sumatera Barat, sebagai putra dari HM. Rasad, seorang pegawai pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri dari orang terhormat di desa tersebut. Kehidupan awalnya di Sumatera Barat terbentuk dalam lingkungan yang sederhana namun penuh dengan nilai-nilai intelektual dan budaya. Dari kedua orang tuanya, Ia mewarisi semangat perjuangan dan kecintaan pada tanah air, yang kelak menjadi fondasi pemikirannya.
Selama masa kecilnya, Tan Malaka menunjukkan ketertarikan pada pendidikan dan literasi. Dia sering terlibat dalam diskusi dan aktivitas belajar yang menunjukkan kecerdasan dan rasa ingin tahu yang besar. Lingkungan keluarganya yang mendukung dan menghargai pengetahuan membentuk dasar bagi pendidikan formalnya di kemudian hari.
Tan Malaka kemudian melanjutkan studinya di Eropa, yang tidak hanya membuka wawasannya tentang dunia, tetapi juga memperkuat keyakinannya pada ideologi Marxis. Pengalaman ini mempengaruhi pandangan dunianya secara mendalam, terutama dalam hal politik dan sosial. Kembali ke Indonesia pada tahun 1919, dia membawa serta pengalaman dan pengetahuan barunya untuk berbagi dengan masyarakat di tanah air.
Di Indonesia, ia mulai mengajar anak-anak pekerja perkebunan teh di Sumatera Timur. Di sini, ia mulai menyadari dan merespons ketidakadilan sosial yang dialami oleh kelas pekerja. Pengalaman mengajar ini tidak hanya memperkuat komitmennya pada pendidikan, tetapi juga mendorongnya untuk lebih aktif dalam aktivitas politik. Keprihatinan terhadap kondisi sosial dan keadilan menjadi pendorong utama baginya dalam melangkah ke ranah politik.
Keluarga juga memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan pandangannya. Meski berasal dari keluarga yang tidak mewah, nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tuanya—seperti kejujuran, keberanian, dan dedikasi untuk kepentingan bersama—terus mewarnai setiap langkah dan keputusan yang diambilnya sepanjang hidupnya.
Kehidupan awal dan pengaruh keluarga tidak hanya memberikan dasar bagi perjalanan karirnya yang luar biasa, tetapi juga memainkan peran penting dalam membentuk pemikiran dan ideologinya. Kombinasi dari pendidikan, pengalaman keluarga, dan pengalaman hidupnya yang kaya menjadi kunci dalam memahami asal-usul dan motivasi di balik perjuangannya untuk Indonesia.
Masa Kecil dan Pendidikan Tan Malaka
Tan Malaka, lahir di Sumatera Barat pada tahun 1897, menghabiskan masa kecilnya di lingkungan yang kaya akan budaya dan intelektualitas Minangkabau. Sejak usia muda, Tan Malaka menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap dunia pendidikan dan literatur. Lingkungan keluarganya, yang sangat menghargai pengetahuan, memberikan dorongan kuat bagi pertumbuhan intelektualnya dan menanamkan nilai-nilai penting yang akan membentuk kepribadiannya di masa depan.
Pendidikan Awal di Sumatera Barat
Pendidikan awal Tan Malaka dimulai di sekolah dasar lokal, di mana ia terkenal sebagai siswa yang cerdas dan tekun. Ini adalah periode penting yang menunjukkan kecerdasannya yang tajam dan keinginan untuk belajar. Pendidikan lanjutannya di sekolah menengah di Padang menawarkan lebih banyak peluang untuk mengeksplorasi berbagai ide dan konsep, yang mulai membentuk pandangan dunianya.
Pengalaman di Eropa
Langkah signifikan dalam pendidikan Tan Malaka adalah ketika ia melanjutkan studinya di Eropa. Ia melanjutkan pendidikannya di Haarlem, Belanda, pada tahun 1915. Di Eropa, dia diperkenalkan pada ideologi Marxis, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin dan bertemu dengan banyak tokoh politik kiri. Pengalaman ini memperdalam pemahamannya tentang isu-isu sosial dan politik global, mempertajam kritisismenya, dan membentuk pandangan politiknya yang nantinya akan mempengaruhi gerakan politik di Indonesia. Kehadirannya di Eropa ditandai dengan keterlibatannya dalam jaringan global gerakan komunis internasional. Dia menjadi radikal setelah membaca buku Wilhelm Blos berjudul “De Fransche Revolutie” dan mengembangkan minat pada revolusi Bolshevik di Rusia.
Selama di Eropa, ia bahkan berinteraksi dengan berbagai individu dan kelompok yang memengaruhi ideologi politik dan aktivismenya. Di Berlin, ia bertemu dengan Darsono, seorang komunis Indonesia yang terkait dengan Biro Eropa Barat Komintern. Dia juga mungkin bertemu dengan M.N. Roy, seorang revolusioner India dan pendiri Partai Komunis Meksiko.
Kembali ke Indonesia dan Karir Pendidikan
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1919, Tan Malaka mengambil peran sebagai pendidik, menerapkan pengetahuannya untuk membantu generasi muda. Di Sumatera Timur, ia mengajar anak-anak pekerja perkebunan teh, di mana dia tidak hanya menyampaikan materi pelajaran standar tetapi juga memperkenalkan mereka pada konsep-konsep sosial dan politik. Ini menandai awal keterlibatannya dalam perjuangan sosial dan politik, dengan menggunakan pendidikan sebagai alat untuk menginspirasi dan memotivasi.
Pengembangan Pemikiran Politik
Selama masa mengajar ini, Tan Malaka mulai mengembangkan dan menyebarkan ide-ide politiknya. Pengalaman mengajar ini tidak hanya memperkuat komitmennya pada pendidikan tetapi juga mendorongnya untuk lebih aktif dalam aktivitas politik. Pada saat ini, ia menjadi semakin terlibat dalam gerakan politik yang lebih luas, termasuk aktivitas dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menandai awal perjalanan politiknya yang signifikan.
Peran sebagai Pemimpin dan Aktivis
Karir pendidikan Tan Malaka terus berkembang seiring dengan keterlibatannya dalam politik. Pengalaman hidupnya yang kaya, mulai dari masa kecil di Sumatera Barat hingga pengalaman internasionalnya, memberikan wawasan unik yang ia bagikan dengan siswanya. Pemikirannya yang radikal dan progresif dalam konteks pendidikan dan politik menunjukkan pendekatan yang berbeda dalam memandang dunia, yang menjadikannya tokoh unik dan berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Awal Perjuangan Tan Malaka
Pulang ke Indonesia pada tahun 1919, Tan Malaka memulai karirnya sebagai pendidik. Dia terjun langsung ke dunia pendidikan dengan mengajar di sekolah untuk anak-anak pekerja perkebunan teh di Sumatera Timur. Di sini, dia tidak hanya mengajarkan dasar-dasar pendidikan formal, tetapi juga memperkenalkan ide-ide tentang kesetaraan sosial dan hak-hak pekerja. Ini menandai awal perjalanan politiknya, di mana pendidikan dan politik saling terkait.
Selain menjadi guru, ia juga aktif dalam kegiatan politik. Keterlibatannya dalam politik dimulai dengan keanggotaannya dalam organisasi politik dan sosial yang berjuang untuk hak-hak pekerja dan petani. Dia cepat dikenal sebagai pemikir dan pembicara yang karismatik, mampu menggerakkan hati dan pikiran para pendengarnya.
Kegiatannya tidak terlepas dari pengaruh pemikiran Marxis, yang dia pelajari selama studinya di Eropa. Tan Malaka mulai menyebarkan dan mengadopsi pemikiran Marxis dalam konteks lokal Indonesia, yang pada waktu itu masih berjuang melawan penjajahan. Dia berusaha menghubungkan teori Marxis dengan realitas sosial dan politik di Indonesia, menciptakan sebuah narasi yang unik dan relevan bagi perjuangan kemerdekaan.
Di awal 1920-an, Tan Malaka meningkatkan aktivitas politiknya. Dia menjadi terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mendapatkan peran penting dalam organisasi tersebut. Keterlibatannya dalam PKI memberikan platform bagi Tan Malaka untuk lebih lanjut mengeksplorasi dan mengembangkan ide-idenya mengenai sosialisme dan perjuangan kelas.
Peristiwa Penting Tan Malaka
Kehidupan Tan Malaka dipenuhi dengan peristiwa penting yang berdampak besar pada perjalanan hidup dan karirnya. Salah satu momen penting adalah pada tahun 1921 ketika dia terpilih sebagai ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemilihannya sebagai pemimpin PKI menandakan pengakuan atas kepemimpinan dan pemikirannya dalam gerakan sosialis Indonesia.
Namun, peranannya dalam PKI tidak berlangsung lama karena pada tahun 1922, otoritas kolonial Belanda memaksa dirinya untuk meninggalkan Hindia Belanda. Pengasingannya ini tidak menghentikan perjuangannya; sebaliknya, ia terus aktif dalam gerakan anti-kolonial dan sosialis di luar negeri. Dia menghabiskan beberapa tahun berikutnya di berbagai negara di Asia, termasuk Filipina dan Thailand, di mana dia terus menyebarkan ide-idenya tentang kemerdekaan dan sosialisme.
Pulangnya Tan Malaka ke Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945 merupakan peristiwa penting lainnya. Kembalinya dia ke tanah air menandai bab baru dalam perjuangannya melawan penjajahan Belanda. Dia aktif dalam pergerakan nasionalis dan menjadi salah satu tokoh sentral dalam periode revolusi fisik.
Peristiwa tragis terjadi pada Februari 1949, ketika ia ditangkap dan kemudian dieksekusi oleh tentara Indonesia, yang dimana hal ini merupakan titik balik dalam sejarah Indonesia. Eksekusinya menandai berakhirnya perjalanan seorang pejuang yang gigih dan pemikir yang visioner. Walaupun kehidupannya berakhir secara tragis, perjuangannya dan ide-ide yang dia perjuangkan terus mempengaruhi pemikiran politik Indonesia.
Pencapaian Tan Malaka
Meskipun sering kali dimarginalkan dalam sejarah Indonesia, pencapaiannya sebagai pemikir, aktivis, dan pejuang kemerdekaan tidak dapat diabaikan. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah peranannya dalam merumuskan ideologi dan strategi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Gagasan dan tulisannya, seperti “Madilog” (Materialisme, Dialektika, dan Logika), memberikan kontribusi penting dalam pemikiran politik dan sosial di Indonesia.
Sebagai pemimpin PKI dan pendiri Partai Murba, perannya sangat penting dalam menyatukan berbagai kelompok pekerja dan petani untuk berjuang melawan penjajahan dan ketidakadilan sosial. Kepemimpinannya pun mendorong banyak orang untuk berpartisipasi dalam gerakan nasionalis dan sosialis.
Tan Malaka juga dikenal karena pendekatannya yang unik terhadap pendidikan. Sebagai guru, dia menerapkan metode pengajaran yang inovatif dan memastikan bahwa pendidikan tidak hanya terbatas pada kelas elit tetapi juga dapat diakses oleh anak-anak pekerja dan petani. Ini merupakan langkah penting dalam mempromosikan kesadaran politik dan sosial di kalangan rakyat.
Pengaruh Tan Malaka dalam pemikiran politik Indonesia terus bertahan bahkan setelah kematiannya. Buku dan tulisannya masih menjadi referensi penting bagi para peneliti, akademisi, dan aktivis yang tertarik dengan sejarah politik Indonesia dan teori Marxis.
Kematian Tan Malaka
Kematian Tan Malaka pada 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kediri, di lereng Gunung Wilis, adalah sebuah peristiwa yang menyedihkan dan penuh kontroversi dalam sejarah Indonesia[1][5]. Sebagai seorang guru, Marxis, filsuf, dan intelektual berpengaruh, Tan Malaka mengabdikan hidupnya untuk melawan kolonialisme Belanda. Perannya sebagai pemimpin dalam gerakan komunis Indonesia telah menimbulkan perdebatan tentang perannya dalam sejarah Indonesia[8].
Setelah kembali ke Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945, Tan Malaka menjadi aktif dalam berbagai gerakan politik. Dia diusir dari Indonesia pada Maret 1922 dan melakukan perjalanan ke Berlin, Moskow, dan Belanda. Ia kembali ke Indonesia dan menjadi pemimpin Partai Murba, yang dibentuk pada tahun 1948 untuk mengorganisir oposisi kelas pekerja terhadap pemerintahan Soekarno.
Kematian Tan Malaka di tangan tentara Republik Indonesia dilakukan tanpa proses hukum yang jelas, dan eksekusinya diperintahkan oleh Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Hal ini menimbulkan spekulasi dan pertanyaan mengenai motif di balik penangkapan dan kematian beliau. Meskipun kontribusinya signifikan bagi perjuangan kemerdekaan, asosiasinya dengan komunisme telah menyebabkan marginalisasi dalam sejarah Indonesia.
Meskipun warisannya kontroversial, Tan Malaka dianugerahi gelar pahlawan nasional secara anumerta pada tahun 1963 oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1963, yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963. Namun, lokasi pemakamannya tidak diketahui dengan jelas hingga saat ini, dan kontribusinya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagian besar telah dilupakan dalam buku-buku sejarah.
Kematian Tan Malaka menjadi simbol dari pengorbanan dan perjuangan dalam mencapai kemerdekaan dan keadilan sosial di Indonesia. Meskipun secara fisik tidak ada lagi, warisan dan ide-idenya terus menginspirasi dan mempengaruhi pembentukan Republik Indonesia.
Peninggalan
Tan Malaka meninggalkan warisan yang beragam dan berpengaruh bagi Indonesia, tidak hanya dalam bentuk tulisan dan organisasi yang ia dirikan, tetapi juga melalui pengaruhnya yang mendalam pada pemikiran politik, pendidikan, dan budaya Indonesia.
- Organisasi: Tan Malaka memainkan peran kunci dalam pendirian berbagai organisasi, termasuk Persatuan Perjuangan dan Partai Murba. Ia juga mendirikan Sekolah Sarekat Rakyat di Semarang, yang menjadi model bagi sekolah-sekolah yang yang dianggap melanggar aturan pendidikan pribumi kolonial.
- Buku dan Tulisan: Karya utamanya, “Madilog” (Materialisme, Dialektika, dan Logika), menguraikan pandangan filosofisnya dan berpengaruh dalam pemikiran politik Indonesia. “Naar de Republiek Indonesia” adalah buku penting lainnya di mana ia menguraikan visinya tentang struktur pemerintahan Republik Indonesia. Autobiografi politiknya, “Dari Penjara ke Penjara”, memberikan wawasan tentang pemikiran dan pengalaman politiknya. Tan Malaka juga menulis beberapa karya lain, termasuk “Aksi Massa”, “Dari Penjara Ke Penjara Bagian Satu”, dan “Gerpolek”, yang terus dicetak ulang karena permintaan yang cukup tinggi.
- Pidato dan Esai: Tan Malaka memberikan pidato di berbagai kongres, seperti pada Kongres Keempat Comintern, dan pidatonya yang mendesak pelestarian kesatuan Islam-komunis di Kongres Kedelapan Sarekat Islam. Suratnya kepada Manuel Quezon mencerminkan pandangan Pan-Malayan-nya dan merupakan contoh dari korespondensi politiknya.
- Dampak Pendidikan: Tan Malaka mengkritik sistem pendidikan kolonial dan mendukung pendidikan yang berdasarkan kearifan lokal, menekankan pada kemampuan berhitung, menulis, geografi, bahasa, organisasi, dan politik.
- Pengakuan Anumerta: Meskipun dimarginalkan selama hidupnya, Tan Malaka diakui secara anumerta sebagai pahlawan nasional pada tahun 1963 oleh Presiden Soekarno.
- Pengaruh Budaya: Kehidupan dan persona Tan Malaka menginspirasi karakter fiksi Patjar Merah dalam novel karya Hasbullah Parinduri, yang banyak dibaca dan berkontribusi pada status legendarisnya.
- Museum Tan Malaka: Rumah massa kecil Tan malaka akhirnya diputuskan oeh pihak keluarga untuk dijadikan Musem Tan Malaka yang menyimbang memorabilia Tan Malaka ketika tumbuh.
Fakta
- Pendidikan Awal dan Karir: Tan Malaka adalah seorang murid yang menjanjikan yang menyelesaikan studinya di sekolah pelatihan guru di Bukittinggi dari 1908 hingga 1913, lalu melanjutkan pendidikannya di Haarlem pada tahun 1915. Ia menjadi ketua Partai Komunis Indonesia pada tahun 1921 tetapi terpaksa meninggalkan Hindia Belanda oleh otoritas kolonial tahun berikutnya.
- Pengaruh terhadap Politisi: Berteman baik dengan Soekarno, Tan Malaka juga menjadi sumber inspirasi bagi Soekarno, presiden pertama Indonesia, dan me
mpengaruhi gerakan kemerdekaan. Ide dan pemikiran politiknya telah menginspirasi generasi berikutnya dari politisi dan aktivis Indonesia.
- Interaksi Politik dengan Soekarno: Soekarno pernah berkonsultasi dengan Tan Malaka untuk mencari dukungannya selama perjuangan kemerdekaan Indonesia. Meskipun demikian, Tan Malaka memiliki hubungan yang kompleks dengan Soekarno dan pemimpin lainnya seperti Sjahrir. Pada suatu titik, Tan Malaka mengundang Sjahrir untuk membantunya menggulingkan Soekarno dari kepemimpinan revolusi, menunjukkan adanya perbedaan politik dan persaingan kekuasaan yang signifikan di antara mereka.
- Peran Beragam: Sebagai seorang guru sekolah, ketua PKI, agen Komintern, pengasingan politik, dan pemimpin revolusioner, Tan Malaka hidup di berbagai negara termasuk Belanda, Jerman, Rusia, Cina, Filipina, Singapura, dan Thailand. Pada September 1932, ketika pasukan Jepang menduduki Shanghai, di mana Malaka tinggal, ia melarikan diri ke Hong Kong dengan nama samaran dan menyamar sebagai seorang Filipina keturunan Cina.
- Karya Politik dan Literatur: Tan Malaka menulis beberapa karya politik, yang paling terkenal adalah otobiografi “Dari Pendjara ke Pendjara”. Ia juga menulis buku dalam bahasa Belanda yang ditujukan untuk pelajar Indonesia, berharap dapat memotivasi mereka dalam perjuangan mereka.
- Kembali ke Indonesia dan Keterlibatan Politik: Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, ia kembali ke Indonesia untuk berpartisipas
i dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Ia menjadi pemimpin Partai Murba yang dibentuk pada tahun 1948 untuk mengorganisir oposisi kelas pekerja terhadap pemerintahan Soekarno. Pada Februari 1949, Tan Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia dan dieksekusi.
- Hubungan dengan Bolshevik dan Komintern: Tan Malaka memiliki hubungan signifikan dengan Bolshevik dan mengunjungi Rusia, di mana ia berpartisipasi dalam Kongres Keempat Komintern pada tahun 1922. Ia berusaha mendidik Bolshevik tentang realitas hidup Islam dan potensinya sebagai kekuatan revolusioner, menekankan perlunya partai-partai Komunis untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi Islam. Di Kongres Dunia Keempat Komintern di Moskow, Ia mengusulkan bahwa komunisme dan Pan-Islamisme dapat berkolaborasi; namun, usulannya ditolak oleh banyak orang.
- Pandangan Politik: Tan Malaka semakin tertarik pada komunisme, sosialisme, dan sosialisme reformis setelah Revolusi Rusia Oktober 1917, dan ia mulai membaca karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Pengalaman dan interaksi Tan Malaka dengan Bolshevik di Rusia memiliki peran penting dalam membentuk ideologi politiknya dan pendekatannya terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia.
Quote
- “Kemerdekaan tanpa sosialisme adalah sia-sia, tetapi sosialisme tanpa kemerdekaan adalah palsu.” – Tan Malaka
- “Pendidikan harus menjadi senjata bagi rakyat untuk mencapai kebebasan.” – Tan Malaka
- “Perjuangan kita adalah untuk keadilan sosial bagi semua, bukan hanya untuk segelintir orang.” – Tan Malaka
- “Tanpa kelas pekerja yang terorganisir, tidak ada kemerdekaan yang sejati.” – Tan Malaka
- “Marxisme bukan hanya teori, tetapi panduan untuk bertindak.” – Tan Malaka